Oleh : Syamsudin Kadir
penulis Buku “Merawat Indonesia”
ADAB adalah kata yang mengandung makna keluhuran. Ia bermakna kepatutan, kesopanan dan kemampuan menepatkan sesuatu pada martabatnya yang benar. Beradab adalah sikap kepatutan, kesopanan dan menempatkan sesuatu pada martabatnya yang benar sekaligus tepat. Tidak beradab berati tidak patut, tidak sopan, dan tidak adil.
Akhir-akhir ini bangsa kita Indonesia seperti terombang-ambing oleh berbagai masalah. Berbagai masalah pun seperti menjadi-jadi. Ibaratnya satu kesatuan dalam lingkaran setan yang tak putus. Satu masalah menjadi biang bagi masalah lain. Satu masalah menjadi pemantik bagi munculnya masalah baru. Bukan saja rumit dan pelik tapi juga jijik.
Praktik politik elite pun demikian. Pada berbagai level, politik sudah sampai titik nadir: tuna adab. Politik mesti menumbuhkan keadaban bangsa, pejabat negara menjadi penuntun yang layak diteladani dan ekspresi gagasan, pendapat dan karya dibuka lebar. Itulah aksi paling konkret dari nilai-nilai luhur Pancasila. Satu bentuk keteladanan autentik.
Tapi faktanya, politik kerap dijalankan dengan cara-cara culas, saling menikam dan saling sikat-sikut. Orientasinya bukan untuk bangsa dan negara, tapi untuk diri dan kelompok bahkan keluarga terdekat. Struktur politik dipersonalisasi. Mereka yang mendapat mandat justru arogan dan nihil keteladanan. Ide, pendapat dan karya diamputasi.
Berbagai macam praktik korupsi selalu melibatkan bahkan diotaki oleh pejabat yang mestinya menjadi penuntun terbaik berjalannya aturan yang berlaku. Politisi yang mestinya memimpin praktik keadaban luhur justru memperkosanya secara membabi buta. Naifnya, mereka paham aturan tapi merekalah yang melanggarnya berkali-kali.
Mari kita tengok praktik korupsi di kementrian, BUMN dan BUMD. Otaknya adalah menteri, wakil menteri, komisaris, pengusaha kakap, dan para mafia atau budak mafia. Konon mereka disebut oknum, tapi banyak jumlahnya. Apakah praktik bergerombol semacam itu masih layak disebut oknum padahal sudah merajalela dan melibatkan banyak orang?
Di level daerah, mereka adalah pejabat penting di daerah. Mereka gubernur, bupati, walikota, wakil gubernur, wakil bupati, wakil walikota, atau mantan pejabat serupa. Atau mungkin mereka kepala dinas, kepala bidang dan atau sebutan lainnya. Mereka orang penting dan memiliki tugas penting. Selama menjabat mereka kerap dipuji-puja dan dihormati.
Kita menyaksikan para bandit yang merampok uang negara dan memperkosa kepantasan publik itu bukan orang biasa dan bukan orang miskin. Mereka bukan pedagang kaki lima yang banting tulang mengais rezeki setiap hari. Mereka bukan guru honorer yang kerap terkenang menerima upah atau gaji tak seberapa. Mereka pejabat yang kaya raya.
Pada kasus dana hibah, kita mendapatkan berita justru dijadikan bancakan oleh pejabat tertentu dengan elite lembaga yang diberi dana hibah. Dana hibah yang mestinya bermanfaat dan berdampak baik justru ditimbun dan digunakan untuk kepentingan elite organisasi. Mereka yang mestinya jadi penjaga moral justru menjadi perusak yang paling aktif.
Praktik politik culas dan korupsi adalah wujud nyata menurunnya saldo keteladanan. Para pemimpin atau pejabat di puncak pada setiap levelnya harus menjadi teladan. Bukan saja dalam kata dan sikap tapi juga tindakan dan kebijakan. Pejabat yang korup mesti dihukum seberat-beratnya. Bahkan perampasan aset koruptor mesti dijalankan dengan segera.
Bangsa yang miskin adab akan semakin menjadi-jadi bila para pemimpin menepikan keteladanan dan acuh pada praktik penegakan hukum yang asal-asalan bahkan tebang pilih. Secara khusus, kita berharap Presiden Prabowo Subianto lebih tegas lagi. Presiden perlu memastikan seluruh pejabat negara menjalankan tugasnya dengan jujur dan tegas.
Pejabat di level apapun yang terbukti melanggar hukum terutama korupsi, harus dihukum seberat-beratnya. Harta atau aset mereka mesti dirampas. Sehingga upaya pemiskinan untuk mereka dapat menjadi alarm bagi siapapun agar tidak coba-coba merampok uang negara atau membiarkan orang lain melakukan tindakan korupsi menjadi-jadi.
Kata kuncinya adalah keteladanan. Pemimpin atau elite di level apapun mesti menjadi teladan kebaikan. Ucap, tingkah dan tindakannya mesti bernafaskan moral yang tinggi. Mereka mesti memiliki dan menjaga integritas, sehingga jauh dari praktik melanggar hukum dan kepatutan publik. Singkatnya, bangsa ini mesti kaya adab. (*)






