Oleh : Syamsudin Kadir
Penulis Buku “Prabowo Subianto; Optimisme, Kepemimpinan dan Sepak Terjang”
HUKUM dan penegakan hukum sudah di ujung tanduk. Ia bukan saja segera jatuh, tapi sebagiannya sudah benar-benar jatuh. Coba kita lihat, vonis 10 tahun terhadap mantan Direktur Utama PT Taspen, Antonius Nicholas Stephanus Kosasih (Antonius), seolah ingin menunjukkan bahwa hukum masih bekerja. Tapi bagi banyak orang, putusan itu justru menegaskan kenyataan pahit: hukum di negeri ini tak lagi berdiri di atas keadilan, melainkan di atas uang dan kekuasaan.
Sudah terlalu lama hukum di Indonesia hidup dalam kepalsuan. Di atas kertas, ia tampak tegas dan bermoral. Tapi di lapangan, hukum tunduk pada siapa yang mampu membayar. Jaksa bisa ditawar, hakim bisa dibujuk, dan pasal bisa dinegosiasikan. Semuanya punya harga, tinggal seberapa tebal dompet dan seberapa kuat koneksi para koruptor yang merampok uang negara itu. Semuanya bisa dinego atas nama hukum yang dibuat tambal sulam.
Sistem hukum seakan tidak rusak, tapi ia memang dirancang seperti ini. Aduh pada keadilan, tegak pada syahwat koruptor. Dibangun untuk melindungi yang kuasa pada uang, bukan yang benar. Karena itu, kasus besar sering berakhir ringan bahkan bebas, sementara rakyat kecil bisa masuk penjara hanya karena mencuri beras, sandal, atau ponsel bekas. Di negeri ini, hukuman bukan soal kejahatan, tapi soal kemampuan membayar kesalahan. Hanya itu, tidak yang lain.
Kita menyebut menyuap sebagai kejahatan, tapi di saat yang sama negara sendiri memberi ruang bagi pelaku untuk “menebus” dosanya dengan uang. Denda, komutasi, atau potongan masa tahanan, atau sebutan lainnya, semua disamarkan dengan istilah hukum yang indah, padahal substansinya tetap sama: kebebasan para penjahat untuk menjual dan membayar hukum. Karena hukum bisa dijual dan bisa dibeli. Ini benar-benar pasar jual-beli hukum.
Di titik ini, hukum kehilangan makna. Ia tidak lagi menjadi pelindung bagi yang lemah, tapi alat tawar-menawar bagi yang kuat. Penjara berubah menjadi tempat singgah sementara bagi pejabat yang sial. Setelah beberapa tahun, mereka keluar dengan wajah baru, harta tetap utuh, dan nama perlahan dibersihkan oleh waktu dan koneksi. Karena tak sedikit media yang memuji mereka sebagai pahlawan dan pejuang sejati.
Hukum di negara ini sudah lama berhenti menjadi pelindung rakyat. Ia beroperasi seperti pasar gelap, dimana keputusan bisa dinegosiasikan, dan keadilan hanya tersedia bagi yang punya akses dan koneksi. Kekuasaan bukan lagi tanggung jawab untuk menegakan keadilan, melainkan medium bisnis untuk mendapatkan uang dan proyek sebanyak-banyaknya. Mereka yang berwenang tidak memimpin, tapi berdagang secara serakah demi perut dan yang di bawa perut.
Lalu rakyat dipaksa untuk percaya pada hukum. Bagaimana mungkin percaya pada sistem yang melindungi koruptor tapi menghancurkan rakyat kecil? Bagaimana mungkin berharap pada penegak hukum yang menjadikan keadilan sebagai barang dagangan? Hukum konon melarang praktik sogok menyogok tapi penegak hukum dan keadilan justru melegalkannya lewat denda hukuman ringan pidana para koruptor bangsat.
Masalah negeri ini bukan hanya pada siapa penjabat, tapi pada sistem yang menopangnya. Siapa pun yang mendapat mandat akan tetap bermain di papan yang sama yaitu papan yang busuk, penuh celah, dan bisa dibeli. Karena itu, mengganti pejabat tanpa mengganti sistem hanyalah pergantian pemain dalam permainan yang sama kotor. Pejabat menjadi partner para koruptor busuk. Kasus semacam Antonius ada banyak. Semuanya membuat hati kita benar-benar miris dan terluka.
Revolusi keadilan tidak lagi bisa ditunda. Ini bukan soal idealisme, tapi soal bertahan hidup sebagai bangsa yang masih punya martabat. Hukum harus dibersihkan sampai ke akar: pasal yang memberi ruang negosiasi harus dihapus, lembaga peradilan harus benar-benar independen, dan budaya kompromi harus disingkirkan dari birokrasi. Kuncinya presiden yang tegas dan tak pandang bulu. Presiden harus pastikan penyelenggaraan negara di berbagai lini profesional dan tidak main-main dengan hukum serta hukuman.
Tanpa itu, negeri ini akan terus membusuk dalam lingkaran yang sama: korupsi, penipuan, dan pengkhianatan yang dilegalkan. Dan ketika keadilan terus diperjualbelikan, jangan kaget bila suatu hari rakyat berhenti bicara dan mulai bertindak atas dan dengan caranya sendiri.
Bukan karena ingin memberontak, tapi karena sudah tidak punya pilihan lain. Di sinilah pentingnya elite membaca ulang kasus Nepal beberapa waktu lalu. Begitulah jadinya bila rakyat kerap ditipu dan keadilan dirampas.
Jika keadilan tidak bisa ditegakkan melalui hukum, maka hukumlah yang akan digulingkan. Para penegak hukum bakal diburu dan diperlakukan seperti pejabat di Nepal itu. Pada saat kondisi semacam itu tiba, tidak akan ada lagi yang bisa menyelamatkan negara ini. Bukan presiden, bukan partai, bukan parlemen. Karena bangsa yang menjual keadilan, pada akhirnya akan membeli kehancurannya sendiri. Elite yang gamang akan menanggung akibatnya masing-masing.
Kalau setiap warga negara berniat jahat, tinggal cari saja hukum yang dendanya ringan lalu korupsi sebesar-besarnya. Sedikit bayar denda, hukum jadi ringan, bebas masih dapat untung dari hasil korupsi. Tapi apa bedanya dengan para maling bajingan itu. Sejak awal rakyat Indonesia sudah ditipu, dirugikan dan dipermainkan dengan hukum bodoh di negeri ini. Yaitu hukum yang tidak pernah benar-benar berpihak keadilan sosial rakyat, kecuali pada para koruptor bangsat yang merampok uang dan aset negara itu.
Kita mendesak pemerintah terutama presiden dan bawahannya dan DPR segera merombak total hukum dalam sistem negara ini. Atau masih menanti rakyat di berbagai kota melakukan revolusi keadilan sosial seperti yang terjadi di Nepal? Kuncinya ada pada kemauan dan aksi konkret para penentu kebijakan negara.
Ingat kondisi hukum perlu langkah tegas, bukan sekadar pidato. Hal ini harus terjadi sebelum negara ini bertindak seperti di Nepal, lalu negara ini benar-benar hancur dan hilang dari peta dunia. Jangan dianggap receh dan remeh, segara bertindak wahai para petinggi negara. (*)