Opini

Labuan Bajo: Premium bagi Turis, Cemas bagi Pemuda

16
×

Labuan Bajo: Premium bagi Turis, Cemas bagi Pemuda

Share this article
IMG 20251029 WA0030
IMG 20251029 WA0030

Oleh : Ahmad Rafiq

Aktivis Muda Manggarai Barat, NTT

LABUAN Bajo yang berada di Manggarai Barat, NTT kini bersinar terang dalam peta pariwisata dunia. Kapal-kapal mewah bersandar di dermaga yang dulu hanya dihuni perahu nelayan. Hotel bertingkat berdiri bak istana di atas perbukitan. Jalan beraspal mulus memanjang menembus daerah-daerah yang dulunya sunyi. Kota kecil yang dulu menjadi tempat singgah para pelaut, kini bertransformasi menjadi rumah nyaman bagi siapa pun yang berkunjung. Teduh, ramah warganya membuat para wisatawan lupa akan jalan pulang. Namun, di balik gemerlap yang memanjakan mata itu, ada pertanyaan yang terus menggantung: Siapa sebenarnya yang menikmati semua kemewahan ini? Turis atau pemuda lokal?

Sebagai pemuda Manggarai Barat, NTT, saya turut terharu melihat kemajuan kota ini. Saya bangga ketika mendengar bahasa asing bersahutan di sudut-sudut kota Labuan Bajo, ketika teman-teman memamerkan tempat kerja baru mereka di hotel berbintang, dan ketika pemerintah memuji Labuan Bajo sebagai etalase utama pariwisata premium Indonesia. Tapi kebanggaan itu selalu diikuti oleh rasa kecemasan yang sulit diabaikan. Sebab kemajuan ini, pada banyak aspek, masih meninggalkan pemudanya di belakang pagar kemewahan menyaksikan pesta dari jauh.

Saya pernah bertemu dengan seorang pemuda lokal yang susah mencari pekerjaan. “Setiap kali aku memasukan lamaran kerja, entah sebagai waiter, housekeepting, atau bell boy, jawabannya selalu sama: “terima kasih”, kami akan menghubungi Anda,” yang artinya jangan berharap.

Kadang juga kekuatan orang dalam (ordal) sangat menetukan untuk terterima atau tidak. Ironi itu terasa menyesakkan. Di hotel-hotel besar itu, posisi-posisi kunci diisi oleh orang-orang di luar pulau Flores. Mereka datang dengan “pengalaman” yang katanya lebih mumpuni, dengan “standar” yang lebih tinggi. Kami, anak-anak lokal yang sehari-hari menghirup udara Labuan Bajo, yang tahu persis di mana tempat mencari ikan terbaik, tempat wisata yang ramai dikunjungi dan kapan musim badai datang, hanya dipandang sebelah mata.

Baca Juga :  Demi Judi Online, Berani Korupsi Uang PDAM Kota Cirebon!

Data Dinas Pariwisata Manggarai Barat tahun 2024 menunjukkan bahwa hanya sekitar 35% tenaga kerja di sektor wisata premium berasal dari masyarakat lokal. Sementara pada posisi manajerial, jumlah pemuda lokal yang menduduki jabatan strategis masih di bawah 10%. Banyak posisi penting diisi oleh pekerja dari luar daerah atau bahkan dari luar negeri yang dianggap lebih profesional dan fasih bahasa asing. Pemuda lokal akhirnya terjebak di posisi kelas bawah, bukan karena kurang kemauan, tapi karena keterbatasan akses pendidikan dan pelatihan vokasi yang relevan.

Kondisi ini membuat sebagian pemuda merasa “tidak cukup baik” untuk tanahnya sendiri. Ada yang terpaksa merantau mencari kesempatan di kota besar. Ada pula yang diam-diam menyimpan perasaan bahwa Labuan Bajo bukan lagi ruang untuk tumbuh, melainkan panggung untuk orang lain berkuasa.

Belum lagi soal eksploitasi tenaga kerja. Banyak pekerja hotel dan kapal wisata mengeluhkan sistem kontrak yang tidak transparan, jam kerja panjang, serta minim jaminan kesejahteraan. BPJS Ketenagakerjaan Manggarai Barat mencatat peningkatan aduan pekerja dalam dua tahun terakhir, didominasi persoalan hubungan industrial sektor pariwisata. Namun suara mereka tenggelam dalam euforia promosi wisata: “Labuan Bajo destinasi kelas dunia!” seru poster-poster di bandara dan pelabuhan.

Tapi apakah kelas dunia itu harus berarti kelas bawah bagi pemuda lokal yang berjuang di belakang panggung? Di sisi budaya, arus globalisasi membawa tantangan yang tak kalah pelik. Nilai-nilai adat seperti “lonto leok” (musyawarah), gotong royong, dan cinta tanah perlahan berhadapan dengan gaya hidup turis yang lebih individualis dan hedonistik. Beberapa fenomena sosial muncul: peningkatan konsumsi alkohol, gaya hidup glamor dadakan, hingga kriminalitas dan prostitusi terselubung yang meresahkan keluarga dan tokoh agama. Kondisi ini sangat mengancam pudarnya budaya local.

Baca Juga :  Presiden Prabowo memang Negarawan

Seorang tokoh muda adat di Sano Nggoang, yang saya temui dalam sebuah diskusi, berkata dengan suara bergetar: “Jangan sampai kita bangun destinasi dunia, tapi kubur identitas kita sendiri. Kalau budaya hilang, kita ini siapa?” Kalimat itu menusuk. Wisata seharusnya memperkuat jati diri lokal, bukan mengikisnya menjadi ornamen dekoratif untuk menarik tamu asing. Pada sektor ekonomi kreatif, UMKM lokal memang tumbuh, tetapi seringkali terpinggir oleh dominasi investor dan operator besar. Hanya sekitar 20% unit usaha wisata yang dimiliki dan dikelola oleh pemuda lokal, menurut data Badan Pusat Statistik 2023. Akses modal yang sulit serta monopoli jaringan distribusi membuat usaha kecil sulit berkembang. Banyak produk lokal sekadar menjadi pelengkap bukan pilar utama ekonomi pariwisata.

Seorang nelayan tua pernah berkata kepada saya, “Dulu laut ini tempat kami mencari hidup. Sekarang, laut ini milik investasi.” Ia tidak bermaksud menolak perubahan. Ia hanya menginginkan agar pembangunan tidak mengusir kehidupan yang sudah ada jauh sebelum investor datang membuat perhitungan laba.

Di tengah segala ironi ini, pemuda Manggarai Barat tetap menyimpan nyala harapan. Kami tidak ingin menjadi generasi yang mengutuk pembangunan dari kejauhan. Kami ingin menjadi aktor utama, bukan figuran dalam film pariwisata premium yang dipromosikan pemerintah. Kami ingin memiliki keahlian yang cukup untuk bersaing, modal yang cukup untuk membangun usaha, serta ruang yang cukup untuk menjaga identitas Manggarai Barat tetap hidup bukan menjadi museum budaya yang mati.

Kami ingin melihat kebijakan afirmatif bagi SDM lokal bukan hanya dalam dokumen strategi, tapi benar-benar terwujud di lapangan. Pelatihan vokasi yang tepat sasaran, sertifikasi kompetensi, sekolah pariwisata yang terjangkau, serta program kewirausahaan yang bukan hanya seremoni untuk konten media sosial.
Kami butuh keseriusan, bukan sekadar slogan manis di baliho. Kami ingin melihat pemerintah mengawasi ketat praktik eksploitasi tenaga kerja dan menjamin perlindungan yang manusiawi. Kami ingin melihat pemuda yang bekerja di hotel bintang lima juga merasakan hidup yang layak bukan sekadar melihat kemewahan dari jendela dapur atau ruang laundry. Kami ingin melihat Labuan Bajo maju secara adil. Maju tanpa mengorbankan masyarakat lokal. Maju tanpa merusak alam dan budaya. Maju dengan pemudanya sebagai pilar utama bukan sebagai penonton yang dipaksa tepuk tangan.

Baca Juga :  Langkah Konkret Menghadapi Negara Darurat Korupsi

Pembangunan sejati tidak diukur dari tinggi hotel, jumlah kapal pesiar, maupun tiket masuk wisata yang mahal. Pembangunan sejati diukur dari seberapa banyak masyarakat lokal yang naik kelas. Jika pemuda Manggarai Barat hanya menjadi pelayan di rumah sendiri, maka ada yang salah dengan konsep kemajuan ini.

Sebagai generasi muda, kami akan terus menjaga tanah ini. Kami akan belajar, bekerja keras, dan melawan ketidakadilan dengan kemampuan serta suara kami. Dan jika ada yang bertanya siapa pemilik masa depan Labuan Bajo, kami akan menjawab dengan lantang: Kami!

Sebab di tanah ini kami lahir. Di tanah ini kami tumbuh. Dan di tanah ini kami akan berjuang bukan untuk menjadi pengunjung dalam hidup sendiri, tetapi untuk menjadi pemimpin masa depan daerah yang kami cintai. Labuan Bajo boleh premium bagi turis. Tapi tidak boleh perih bagi pemudanya. Kami menolak menjadi generasi yang kalah oleh perkembangan. Kami ingin menjadi generasi yang membawah perubahan dengan cara kami sendiri. (*)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *